Sabtu, 19 Juni 2010

KOTA BUKITTINGGI


Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk kurang lebih 100.000 jiwa. Dapat ditempuh dengan sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari Kota Padang yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Barat. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.

Kota yang merupakan kota kelahiran Proklamator RI - Bung Hatta ini, adalah sebuah kota budaya di Sumatera Barat dan terkenal dengan Jam Gadang, sebuah landmark di ketinggian jantung kota Bukittinggi berbentuk jam besar mirip Big Ben, yang merupakan simbol kota Bukittinggi.

Selain itu Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban dari Negeri Sembilan di Malaysia.

Bukittinggi merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Pusat perdagangan grosir untuk barang-barang konveksi kota Bukittinggi terletak di Pasar Aur Kuning. Sementara Pasar Ateh, Pasar Bawah, dan Pasar Lereng, yang terletak berdekatan dengan Jam Gadang, lebih merupakan pasar wisata yang dekat dan terkenal dengan kultur Budaya Minangkabau yang terkenal akan kerajinan tangan dan cinderamata (Jl. Minangkabau), dan wisata kuliner di Los Lambuang - Pasar Lereng.

Secara geografis Bukittinggi terletak antara 100,210 – 100,250 derajat bujur timur dan antara 00.760 – 00,190 derajat lintang selatan dengan ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut, berudara sejuk dengan suhu berkisar antara min 16,10 – 24,90 max

Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya pada tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih ada dam dikenal sebagai Benteng Fort de Kock. Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.[1]

Pada masa pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang.[1]

Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi ibukota propinsi Sumatera dengan gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam PP Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing keresidenan itu telah menjadi provinsi sendiri.


Bukittinggi memiliki julukan sebagai "kota wisata" karena banyaknya objek wisata yang terdapat di kota ini. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai 'Lobang Jepang'.

Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, kebun binatang dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi

Pasar Atas berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Atas yang selalu ramai terdapat banyak penjual kerajinan bordir dan makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Karupuak Sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, serta Karupuak Jangek (Kerupuk Kulit) yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau dan Karak Kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.

Danau Maninjau terletak sekitar 36 km atau sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari kota Bukittinggi.

Secara geografis, Bukittinggi, terdiri dari bukit-bukit. Oleh sebab itu jalannya mendaki dan menurun, berdasarkan bukit itulah kemudian, pemerintahan dibagi (sebelum Orde Baru memecahnya ke dalam Kelurahan), ke dalam 5 jorong yang disebut juga dengan Kurai Limo Jorong (Jorong Guguak Panjang, Jorong Mandiangin Koto Selayan, Jorong Bukit Apik Pintu Kabun, Jorong Aua Birugo, dan Jorong Tigo Baleh).

Dan pada saat ini juga telah dibangun pusat perbelanjaan modern di Bukittinggi.

Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan hotel-hotel lainnya.

sumber: wikipedia.or.id

ARTIKEL TERKAIT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar